BONDAN WINARNO
Pindang baung salai
BONDAN WINARNO
Ikan gabus bakar sondok
BONDAN WINARNO
Pindang udang
Foto:
Popularitas masakan Thai di Indonesia
membuat kita semakin banyak menemukan kesamaan dan kemiripannya dengan
berbagai masakan daerah Indonesia.
Belum lama ini di Palembang,
saya singgah ke RM “Sarinande”. Salah satu hidangan populer di sini
adalah ikan belida goreng. Ketika disajikan, saya langsung melihat
kemiripannya dengan masakan Thai yang disebut ayam goreng pandan.
Masakan Thai populer ini dibuat dari potongan daging ayam dibumbui,
dibungkus daun pandan, dan kemudian digoreng garing. Ayam gorengnya
gurih, ada aroma pandan tipis, bagian dalam daging ayamnya masih terasa
lembab dan empuk.
Ikan belida goreng di “Sarinande” dipotong
dengan tulangnya, dibumbui, dibungkus daun pisang, kemudian digoreng.
Hasilnya adalah ikan goreng yang gurih, renyah di luar, dan lembab di
dalam. Istimewa! Ikan belida – atau
belido dalam dialek lokal –
adalah ikan endemik dari Sungai Musi yang sekarang semakin sulit
didapat, dan harganya pun mahal. Ikan belida populer dipakai untuk
campuran krupuk atau pempek. Tetapi, karena harganya semakin mahal,
krupuk dan pempek sekarang makin banyak memakai ikan tenggiri, ikan
gabus, atau ikan lainnya.
Cara menggoreng ikan di dalam daun
pisang ternyata cukup umum dilakukan di Sumatra Selatan. Di rumah makan
lain, saya juga pernah menemukan ikan gurame digoreng utuh di dalam
bungkus daun pisang. Karena tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan
dari para pemilik rumah makan, saya hanya dapat menduga-duga bahwa
bungkus daun pisang itu bermanfaat untuk menjaga kelembaban bagian dalam
ikan selama proses penggorengan dalam minyak yang sangat panas. Ikan
belida goreng “Sarinande”, misalnya, bagian lemaknya masih menampilkan
kualitas yang sangat bagus dan tidak hancur menjadi minyak, sementara
bagian luarnya sudah garing dan renyah. Sungguh
mak nyuss!
Masakan
Palembang lain yang punya kemiripan dengan kuliner Thailand adalah
pindang yang sangat mirip dengan sup tom yam. Keduanya merupakan kuah
asam pedas yang biasanya diisi dengan protein ikan. Bedanya, kalau bukan
dengan seafood, pindang lebih cocok untuk memasak daging sapi,
sedangkan tom yam lebih cocok untuk masakan ayam.
Tom yam mendapat
rasa asam dari perasan limau atau jeruk nipis, dengan penguat rasa dari
sereh dan daun jeruk nipis. Pedasnya dicapai dengan memasukkan cabe
rawit dalam jumlah yang cukup banyak. Selain diisi udang, cumi, dan
ikan, juga dipakai jamur untuk mengisi kuah asam pedas ini. Kalau
dibanding dengan pindang, tom yam jauh lebih pedas sampai menyengat
rasanya.
Di Sumatra Selatan, dikenal banyak jenis masakan pindang.
Setiap daerah memiliki pindang dengan karakternya yang berbeda. Secara
umum dikenal empat
gagrak utama pindang, yaitu: Palembang,
Meranjat, Musi Rawas, dan Pegagan. Tetapi, sebetulnya, pindang Palembang
pun terdiri dari beberapa jenis lagi. Misalnya, ada
pindang mangut yang sudah makin langka, di samping
pindang serani yang lebih umum mewakili jenis masakan pindang di Palembang.
Meranjat
adalah nama sebuah desa di sebelah Utara Palembang. Pegagan dan Musi
Rawas masing-masing adalah desa yang letaknya di sebelah Timur
Palembang.
Pindang meranjat memiliki ciri khas rasa
calok atau trasi yang sangat
nendang.
Rasa asamnya diperoleh dari nenas, dengan tingkat kepedasan sedang.
Secara umum, pindang meranjat menghadirkan citarasa yang sangat
intens.
Jenis ikan yang banyak dipakai untuk pindang meranjat adalah patin dan
baung. Pindang meranjat juga sering menampilkan iga sapi sebagai
protein.
Pindang pegagan – sekalipun secara lokasi lebih dekat ke
Musi Rawas – tetapi lebih mirip dengan citarasa pindang meranjat.
Sama-sama memakai nenas untuk menghadirkan keasaman, tetapi dengan rasa
trasi yang lebih lunak. Intensitas bumbunya pun lebih “sopan”.
Pindang musi rawas mirip pindang palembang karena sama-sama memakai
cung kediro
(tomat ceri) sebagai sumber rasa asam. Pindang ini memakai daun kemangi
lebih banyak, sehingga sekilas justru sangat mirip kuah asam model
Sulawesi Utara. Bedanya, kuah asam memakai lemon cui untuk mengasamkan
kuahnya.
Di Palembang ada RM “Pindang Musi Rawas” yang
menghadirkan pindang udang istimewa. Udangnya adalah udang galah (lebih
umum disebut
udang satang di Palembang) yang berukuran besar. Udang sungai ini sangat manis dan
nyakrek (
succulent) bila dimasak secara tepat.
Pindang
gagrak Palembang
di masa kini memang lebih banyak menampilkan iga sapi sebagai protein.
Hal ini tampaknya sesuai dengan permintaan masyarakat. Iga sapi
belakangan ini naik daun. Berbagai masakan dari iga sapi langsung
populer, termasuk konro Makassar dengan iga sapi berukuran jumbo.
Beberapa warung di Palembang menampilkan pindang iga sapi “meniru” cara
orang Jakarta menyajikan konro. Yaitu, iganya diungkep dan dibakar dulu,
sebelum kemudian dimasukkan ke dalam kuah pindang yang segar. Jenis
sajian ini punya penggemar makin banyak.
Di RM “Pindang Meranjat
Jaka Baring”, saya menemukan jenis pindang yang sudah semakin jarang
dijumpai di tempat lain, yaitu pindang ikan
baung salai. Ikan
baung berukuran kecil disalai (dikeringkan dengan asap), kemudian
dimasak lagi di dalam kuah pindang. Hasilnya adalah kuah pindang dengan
nuansa
smokey yang cantik sekali. Ikan salai yang bertekstur tegas kemudian menjadi lembut kembali setelah dimasak dalam kuah asam pedas.
Terus
terang, saya merasa penggunaan ikan baung untuk disalai agak mubazir.
Ikan baung sudah semakin sulit diperoleh. Sebaiknya dibiarkan menjadi
besar, baru kemudian dipanen dan dimasak segar karena karakteristik
dagingnya yang lembut bila dimasak dalam keadaan segar. Ikan yang
disalai sebaiknya dari jenis-jenis lain yang mudah didapat, misalnya
ikan lais. Pada akhirnya, ikan jenis apapun ketika disalai akan
menghasilkan rasa yang hampir sama.
Secara umum, pindang juga
punya kemiripan dengan masakan asam pedas yang populer di daerah Riau –
kepulauan maupun daratan. Sama-sama tidak memakai santan, dan sama-sama
merupakan masakan berkuah yang populer dengan rasa asam-pedas yang
menonjol.
Di “Jaka Baring” ini saya juga menemukan pusaka kuliner
Sumatra Selatan yang sudah jarang hadir di tempat lain, yaitu ikan gabus
bakar sondok. Ikan gabus segar dibuang tulang utamanya dan jeroannya,
kemudian ditusuk dengan bambu dan di-
bembem atau dibakar di
dalam bara arang. Sisik ikannya sengaja tidak dibuang agar selama
pembakaran kulit ikan tidak cepat menjadi gosong.
Ikan gabus bakar
sondok ini cocoknya dimakan dengan sambal jeruk kunci. Jeruk kunci (di
Manado disebut lemon cui) adalah semacam jeruk nipis yang lebih kecil
dan isinya kuning. Rasanya manis-asam. Kulit jeruk kunci dirajang halus,
kemudian dicampur dengan sambal trasi.
Dahsyat!
Masakan
ikan lain yang saya sukai di Sumatra Selatan adalah sajian yang populer
dengan nama sate ikan. Tunggu dulu, sate yang satu ini tidak memakai
tusukan. Bahkan tidak dibakar. Jadi, secara nomenklatur, istilah sate
ikan ini sungguh sangat menyesatkan.
Di Sumatra Selatan, sate ikan
adalah daging ikan yang dicincang atau di-blender halus, dicampur
bumbu, kemudian dibungkus dalam paket daun pisang mirip seperti
bungkusan
bothok di Jawa, tetapi ukurannya lebih kecil. Paket
ini kemudian dikukus. Hasilnya adalah mirip otak-otak ikan kukus.
Lembut, dengan rasa ikan yang cantik, tanpa aroma amis sedikit pun.
Boleh dimakan dengan cocolan
sambal pelem (sambal trasi dan irisan mangga).
Mak nyuss!